Kamis, 11 November 2010

KPPU Catatkan PNNP Rp 1,9 Triliun

FOTO: RAHMAT/PALPRES

Akumulasi Denda Pengusaha


SUDIRMAN. PE– Sebagai lembaga negara yang ditujukan untuk mewujudkan persaingan usaha yang sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia (RI) telah mencatatkan kinerja yang cukup baik. Sejak pembentukannya 10 tahun yang lalu, KPPU telah menyumbangkan Pendapatan Negara Non Pajak (PNNP) dari denda yang dikenakannya dari pelaku usaha yang melakukan kecurangan.

Komisioner KPPU RI, Dedie S Martadisastra menjelaskan secara nasional, data statistik 10 tahun terakhir menyebutkan ada sebanyak 3000-an kasus pelanggaran yang dilaporkan yang masuk di KPPU.

“Dari jumlah tersebut ada sekitar 124 perkara yang telah diputus KPPU. Dari angka itu, 6 persen putusan KPPU dikuatkan dengan Pengadilan Negeri (PN) dan sekitar 60 persen oleh Mahkamah agung (MA),” ungkapnya saat break seminar sosialisasi Undang-Undang No 5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Hotel The Jayakarta Daira kemarin (11/11).

Ia menambahkan, dari jumlah yang telah diselasikan, ada sekitar Rp 1,9 triliun yang telah dikembalikan ke kas negara sebagai pendapatan negara non pajak. Jumlah ini berbanding terbalik dengan anggaran yang dinerikan oleh pemerintah untuk KPPU yang selama 10 tahun belakangan hanya terakumulasi Rp 189 Miliar.

Khusus untuk pelanggaran yang terjadi kebanyakan dari tender, baik untuk pengadaan barang maupun jasa. Ia melanjutkan, persekongkolan dalam tender itu dapat dibagi menjadi tiga jenis, pertama persekongkolan horizontal, vertikal dan gabungan persekongkolan horizontal dan vertikal.

“Persekongkolan horizontal merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha dengan sesama pelaku usaha dengan maksud menciptakan persaingan semu diantara peserta tender. Sementara persekongkolan vertikal merupakan persekongkolan yang terjadi antara beberapa pelaku usaha dengan panitia tender,” ungkapnya.

Sedangkan persekongkolan horizontal dan vertikal merupakan bentuk persekongkolan antara panitia lelang dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dalam tender fiktif yang dilakukan secara administratif dan tertutup. Jika hal ini diragukan, pastinya akan membuat negara mengalami kerugian, karena tender ini mayoritas dilakukan lembaga negara.

Indikasi kecurangan ini didapat dari laporan peserta tender yang menyebutkan terjadi persekongkolan dalam tender, mulai dari ketidaksesuaian atau selisih jauh antara usulan dengan pagu yang ditetapkan,

“Perbuatan yang dilakukan tersebut jelas sangat bertentangan dengan UU No 5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang bertujuan memelihara pasar agar kompetitif dan terhindar dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi ataupun menghilangkan persaingan,” tutupnya. MAT


(diterbitkan di Harian Umum Palembang Ekspres/JPNN Jumat (12/11))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar